Sunday, December 24, 2006

Belum Haji Sudah Mabrur

Oleh : Ahmad Tohari

Ini kisah tentang Yu Timah. Siapakah dia? Yu Timah adalah
tetangga kami.
Dia salah seorang penerima program Subsidi Langsung Tunai
(SLT) yang
kini sudah berakhir. Empat kali menerima SLT selama satu
tahun jumlah
uang yang diterima Yu Timah dari pemerintah sebesar Rp 1,2
juta. Yu
Timah adalah penerima SLT yang sebenarnya. Maka rumahnya
berlantai
tanah, berdinding anyaman bambu, tak punya sumur sendiri.
Bahkan status
tanah yang di tempati gubuk Yu Timah adalah bukan milik
sendiri.

Usia Yu Timah sekitar lima puluhan, berbadan kurus dan
tidak menikah.
Barangkali karena kondisi tubuhnya yang kurus, sangat
miskin, ditambah
yatim sejak kecil, maka Yu Timah tidak menarik lelaki
manapun. Jadilah
Yu Timah perawan tua hingga kini. Dia sebatang kara. Dulu
setelah remaja
Yu Timah bekerja sebagai pembantu rumah tangga di Jakarta.
Namun,
seiring usianya yang terus meningkat, tenaga Yu Timah
tidak laku di
pasaran pembantu rumah tangga. Dia kembali ke kampung
kami. Para
tetangga bergotong royong membuatkan gubuk buat Yu Timah
bersama emaknya
yang sudah sangat renta. Gubuk itu didirikan di atas tanah
tetangga yang
bersedia menampung anak dan emak yang sangat miskin itu.

Meski hidupnya sangat miskin, Yu Timah ingin mandiri. Maka
ia berjualan
nasi bungkus. Pembeli tetapnya adalah para santri yang
sedang mondok di
pesantren kampung kami. Tentu hasilnya tak seberapa. Tapi
Yu Timah
bertahan. Dan nyatanya dia bisa hidup bertahun-tahun
bersama emaknya.
Setelah emaknya meninggal Yu Timah mengasuh seorang
kemenakan. Dia
biayai anak itu hingga tamat SD. Tapi ini zaman apa. Anak
itu harus cari
makan. Maka dia tersedot arus perdagangan pembantu rumah
tangga dan
lagi-lagi terdampar di Jakarta. Sudah empat tahun terakhir
ini Yu Timah
kembali hidup sebatang kara dan mencukupi kebutuhan
hidupnya dengan
berjualan nasi bungkus. Untung di kampung kami ada
pesantren kecil. Para
santrinya adalah anak-anak petani yang biasa makan nasi
seperti yang
dijual Yu Timah.

Kemarin Yu Timah datang ke rumah saya. Saya sudah mengira
pasti dia mau
bicara soal tabungan. Inilah hebatnya. Semiskin itu Yu
Timah masih bisa
menabung di bank perkreditan rakyat syariah di mana saya
ikut jadi
pengurus. Tapi Yu Timah tidak pernah mau datang ke kantor.
Katanya, malu
sebab dia orang miskin dan buta huruf. Dia menabung Rp
5.000 atau Rp 10
ribu setiap bulan. Namun setelah menjadi penerima SLT Yu
Timah bisa
setor tabungan hingga Rp 250 ribu. Dan sejak itu saya
melihat Yu Timah
memakai cincin emas. Yah, emas. Untuk orang seperti Yu
Timah, setitik
emas di jari adalah persoalan mengangkat harga diri. Saldo
terakhir Yu
Timah adalah Rp 650 ribu.

Yu Timah biasa duduk menjauh bila berhadapan dengan saya.
Malah maunya
bersimpuh di lantai, namun selalu saya cegah.
''Pak, saya mau mengambil tabungan,'' kata Yu Timah dengan
suaranya yang
kecil.
''O, tentu bisa. Tapi ini hari Sabtu dan sudah sore. Bank
kita sudah
tutup.
Bagaimana bila Senin?''
''Senin juga tidak apa-apa. Saya tidak tergesa.''
''Mau ambil berapa?'' tanya saya.
''Enam ratus ribu, Pak.''
''Kok banyak sekali. Untuk apa, Yu?''

Yu Timah tidak segera menjawab. Menunduk, sambil tersenyum
malu-malu.
''Saya mau beli kambing kurban, Pak. Kalau enam ratus ribu
saya tambahi
dengan uang saya yang di tangan, cukup untuk beli satu
kambing.''

Saya tahu Yu Timah amat menunggu tanggapan saya. Bahkan
dia mengulangi
kata-katanya karena saya masih diam. Karena lama tidak
memberikan
tanggapan, mungkin Yu Timah mengira saya tidak akan
memberikan uang
tabungannya. Padahal saya lama terdiam karena sangat
terkesan oleh
keinginan Yu Timah membeli kambing kurban.

''Iya, Yu. Senin besok uang Yu Timah akan diberikan
sebesar enam ratus
ribu. Tapi Yu, sebenarnya kamu tidak wajib berkurban. Yu
Timah bahkan
wajib menerima kurban dari saudara-saudara kita yang lebih
berada. Jadi,
apakah niat Yu Timah benar-benar sudah bulat hendak
membeli kambing
kurban?''

''Iya Pak. Saya sudah bulat. Saya benar-benar ingin
berkurban. Selama
ini memang saya hanya jadi penerima. Namun sekarang saya
ingin jadi
pemberi daging kurban.''

''Baik, Yu. Besok uang kamu akan saya ambilkan di bank
kita.''
Wajah Yu Timah benderang. Senyumnya ceria. Matanya
berbinar. Lalu minta
diri, dan dengan langkah-langkah panjang Yu Timah pulang.

Setelah Yu Timah pergi, saya termangu sendiri. Kapankah Yu
Timah
mendengar, mengerti, menghayati, lalu menginternalisasi
ajaran kurban
yang ditinggalkan oleh Kanjeng Nabi Ibrahim? Mengapa orang
yang sangat
awam itu bisa punya keikhlasan demikian tinggi sehingga
rela
mengurbankan hampir seluruh hartanya? Pertanyaan ini
muncul karena
umumnya ibadah haji yang biayanya mahal itu tidak mengubah
watak
orangnya. Mungkin saya juga begitu. Ah, Yu Timah, saya
jadi malu. Kamu
yang belum naik haji, atau tidak akan pernah naik haji,
namun kamu sudah
jadi orang yang suka berkurban. Kamu sangat miskin, tapi
uangmu tidak
kaubelikan makanan, televisi, atau pakaian yang bagus.
Uangmu malah kamu
belikan kambing kurban. Ya, Yu Timah. Meski saya dilarang
dokter makan
daging kambing, tapi kali ini akan saya langgar. Saya
ingin menikmati
daging kambingmu yang sepertinya sudah berbau surga.
Mudah-mudahan kamu
mabrur sebelum kamu naik haji.

"Sungguh, laki-laki dan perempuan muslim,laki2 dan
perempuan mukmin,laki2 dan perempuan yang tetap dalam
ketaatannya, laki2 dan perempuan yang benar,laki2 dan
perempuan yang khusyuk,laki2 dan perempuan yang
bersedekah, laki2 dan perempuan yang berpuasa, laki2 dan
perempuan yang memelihara kehormatannya, laki2 dan
perempuan yang banyak menyebut (nama) Allah, Allah telah
menyediakan untuk mereka ampunan dan pahala yang besar " (
QS 33 : 35

No comments: